PEMIKIRAN FILOSOFIS ṢADRĀ DALAM TAFSĪR Q.S. AL ’AʿLĀ
KERWANTO
Student at The Islamic College for Advance Studies (ICAS), Jakarta, Indonesia
Abstrak: Ṣadrā, sebagai salah satu filsuf Muslim yang paling berpengaruh, telah diakui berhasil mensintesakan elemen-elemen penting dalam tradisi Islam – filsafat, mistik (irfān) dan teologi. Ia juga dikenal berhasil menuangkan pemikiran filosofisnya dalam beragam komentarnya atas sumber-sumber utama keagamaan, baik yang berkaitan dengan al Qur’an maupun ḥadīth. Pada artikel ini penulis akan mencoba untuk memaparkan pandangan dan pemikiran filosofis Ṣadrā yang tertuang dalam salah satu karya monumentalnya, tafsīr al Qur’ān al karīm: Q.S. al ‘aʿlā. Penelitian ini merupakan suatu upaya untuk menggali manfaat dari aspek-aspek penting dari sumber-sumber keagamaan yang tergali dari petunjuk al Qur’an yang berpadu dengan prinsip-prinsip rasional filosofis dan pengalaman mistik (intuitif) Ṣadrā. Melalui konsentrasi pada teks-teks Q.S. al ‘aʿlā, Ṣadrā mengajak jiwa kita untuk berpetualang menuju lapisan makna terdalam untuk mengenali realitas ketahuidan (mabda’), kenabian (ṣirāṭ atau nubuwah) dan kebangkitan (maʿād). Selanjutnya melalui perenungan mendalam atas komentar Ṣadrā tersebut, kita diajak untuk membuka visi dan cara pandang baru akan pentingnya prinsip-prinsip filosofis dalam memahami kajian teks-teks keagamaan. Pada risālah tafsir ini, karena Ṣadrā menyajikan doktrin-doktrin terpenting agama seperti; ketahuidan (al mabdā’), kenabian (nubuwah) dan kebangkitan (maʿād) dan mengulasnya secara filosofis, maka risālah tafsir ini bisa menjadi salah satu bukti ketidakberjarakan antara filsafat dengan teks-teks keagamaan.
Abstract: Ṣadrā, as one of the most influential Muslim philosophers, has been recognized successfully synthesize the essential elements in the Islamic tradition – philosophical, mystical (irfān) and theology. He is also known successfully to pour his philosophical thoughts in a variety of commentary on religious primary sources, both to the Qur’an and Hadith. In this article I will attempt to explain Ṣadrā’s views and his philosophical thought stated in one of his monumental work, tafsīr al Qur’ān al karīm: Q.S. al ‘aʿlā. This study is an attempt to explore the benefits of these important aspects of religious sources unearthed from instructions of Qur’an combined with rational principles of philosophical and mystical experiences (intuitive) of Ṣadrā. Through concentration on texts of Q.S. al ‘aʿlā, Ṣadrā invites us to adventurous our souls to the deepest layers of meaning to recognize the reality of Divinity (al mabdā’), prophetic (ṣirāṭ or nubuwah) and resurrection (maʿād). Furthermore, through deep reflection on the Ṣadrā comments, we are invited to open a new vision and perspective of the importance of the philosophical principles in understanding the study of religious texts. On this treatise, because Ṣadrā presents the most important religious doctrines such as; Divinity (al mabdā’), prophetic (nubuwah) and resurrection (maʿād) and reviews those issues philosophically, thus this interpretation could be a proof of harmony between philosophy and religious texts.
Keywords (Kata Kunci): ketauhidan/ ketuhanan (al mabda’), kenabian (nubuwah), kenabian khusus (al nubuwwah al tashrīʿiyah), kebangkitan (maʿād), gerak substansi (harakah jauhariyah), filsafat transcendental (Ḥikmah Mutaʿāliyah), manusia sempurna (al insan al kamil), gnostik (irfān), denotasi utama (al maqṣūd al aṣlī), perfeksi diri (takammul), orang yang mendalam ilmunya (al rāsikhīna fī al ilmī), fakultas teoritik (al quwwah al naẓariyyah), fakultas praktik (al quwwal al ʿamaliyyah).
Pendahuluan:
Sebagaimana kita ketahui bahwa hingga kini masih muncul kelompok golongan yang memperdebatkan nilai pentingnya pemikiran filsafat. Sebagian kelompok menganggap ajaran-ajaran filosofis merupakan barang asing dan bertolak belakang dengan ajaran agama, khususnya al Qur’an dan sunah nabi yang ṣaḥīḥ; anggapan bahwa antara filsafat dan al Qur’an ada jarak yang tidak bisa disatukan. Tentu, cara pandang semacam itu berseberangan dengan cara pandang para filsuf muslim. Para filsuf muslim meyakini bahwa antara filsafat dengan wahyu (syariat ilahiyah) tidaklah bertentangan. Bahkan keduanya memiliki relasi yang sinergis. Bahkan, dalam beberapa hal, kaidah-kaidah filsafat (rasional) sangat berguna untuk memahami kandungan dan makna al Qur’an. Kebutuhan semacam ini seperti butuhnya bagi kita pada pengusaan ilmu nahwu, sorof, balaghoh dan lainnya untuk memahami lafaẓ al Qur’an.
Dalam kaitannya dengan dunia penafsiran atas al Qur’an, Ṣadrā memiliki posisi yang cukup unik, yakni ketika berposisi sebagai seorang mufassir, Ṣadrā mampu memegang jati dirinya sebagai seorang filsuf dengan tetap berpegang kuat pada tradisi Syiah Imamiyah yang ia yakini. Ṣadrā juga sangat menekankan adanya suatu upaya dimana filsafat dan irfān mampu berkolaborasi guna menafsirkan teks-teks agama, khususnya al Qur’an. Dan diantara para filsuf yang telah menulis kitab tafsir al Qur’an, Ṣadrā-lah, termasuk yang terdepan dan memiliki tempat istimewa. Ketika menela’ah karya-karya tafsīr Ṣadrā maka elemen-elemen pemikiran filosofis dapat diidentifikasi dengan jelas.
Melalui tulisan ini, penulis akan mencoba untuk memaparkan pandangan dan pemikiran Ṣadrā yang tertuang dalam salah satu karya monumentalnya, tafsīr al Qur’ān al karīm. Permasalahan utama yang menjadi objek kajian penelitian ini adalah pandangan dan pemikiran filosofis Ṣadrā yang terdapat dalam tafsir Q.S. al ’aʿlā. Penelitian ini merupakan suatu upaya untuk menggali manfaat dari aspek-aspek penting dari sumber-sumber keagamaan yang tergali dari petunjuk al Qur’an yang berpadu dengan prinsip-prinsip rasional filosofis dan pengalaman mistik (intuitif) Ṣadrā.
Sebelum menela’ah nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam tafsir Q.S. al ’aʿlā, penulis merasa perlu untuk memperkenalkan secara sekilas tentang posisi Ṣadrā dan hubungannya antara filsafat dan tafsir. Selanjutnya, penulis juga akan mengulas secara singkat karakteristik secara khusus tafsir Q.S. al ’aʿlā.
Sekilas tentang Mullā Ṣadrā:
Ṣadr al Dīn Mohammad Shīrāzī (979 – 1050/ 1571 – 1640), yang bergelar Ṣadr al Muta’ālihīn, dan dikenal juga sebagai Mullā Ṣadrā atau Ṣadrā, merupakan salah satu filsuf muslim terbesar, seperti Ibn Sīnā. Ṣadrā hidup pada masa dinasti Safāwī. Ṣadrā belajar secara langsung tokoh-tokoh utama: Shaykh Baha al –Din ‘Ameli dan Mir Muhammad Baqir Hussayni (Mir Damad). Shaykh Baha sangat mempengaruhi Ṣadrā dalam hal spiritual, moral dan karakter ilmiahnya. Sedangkan Mir Damad sangat mempengaruhi Ṣadrā dalam ilmu-ilmu rasional, khususnya filsafat peripatetik dan iluminasi.
Ṣadrā merupakan seorang filsuf yang sangat aktif menulis. Ia sempat terhenti menulis ketika masa uzlah (asceticism). Setelah masa Uzlah (sekitar 15 tahun), ia mulai aktif lagi mengajar dan menulis beberapa karya penting terkait dengan kematangan filsafatnya. Ia telah menulis sekitar 50 buah judul buku terkait dengan filsafat, tafsir al Qur’an dan hadīth[1]. Karyanya yang paling terkenal dan fonumental adalah al Asfār al Arba’ah, yang terdiri dari sembilan jilid.
Ṣadrā telah menemukan aliran filsafat baru yang dikenal sebagai filsafat Ḥikmah Mutaʿāliyah; sebuah aliran filsafat yang mampu mengkombinasikan ide-ide dasar dari beberapa aliran filsafat sebelumnya (dari Peripatetik, Iluminasi dan Sufisme/ Irfān). Bahkan di waktu yang sama, dengan spirit al Qur’an maupun hadīth, Ṣadrā berhasil membawa filsafat Islam menuju puncaknya[2].
Mullā Ṣadrā dan Kaitannya antara Filsafat dan Tafsir:
Ṣadrā sebagaimana dikemukakan sebelumnya selain bergelut dalam bidang ilmu-ilmu rasional, ia juga telah mengambil bagian dalam penafsiran al Qur’an maupun hadīth. Karya tafsirnya merupakan representasi dari filsafat Ḥikmah Mutaʿāliyah. Salah satu corak khas filsafat Ḥikmah Mutaʿāliyah adalah keyakinan Ṣadrā akan adanya kedekatan dan harmonitas antara wahyu dan akal. Keyakinan semacam ini ia sering tekankan di beberapa tempat dalam Asfār maupun karya falsafah lainnya. Dalam Asfār, Ṣadrā menyatakan: “adalah mustahil hukum-hukum syariat yang haq dan putih bersih berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti; dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan Al Quran dan Sunnah”[3].
Dan sebaliknya, nuansa Qur’ānī menghiasi seluruh karya filosofisnya. Oleh karenanya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa tak seorang pun filosof sepanjang sejarah filsafat Islam yang memberikan perhatian sebegitu besar pada Al Quran sebagai sumber pengetahuan filosofis dan teosofi, dan banyak menulis tafsir Al Quran sebagaimana yang telah dilakukan oleh Mulla Ṣadrā. Tafsir-tafsir al Qur’an Ṣadrā merupakan kelanjutan dari teosofi transenden-nya, dan teosofi transenden-nya merupakan hasil dari perkembangan makna batin al Qur’an sebagai bentuk keselarasan antara wahyu dan akal (intelek)”[4].
Ketika menafsirkan al Qur’an, Ia mengambil peran yang agak berbeda dengan para filsuf lainnya, yakni mengembangkan sisi makna batin al Qur’an. Ṣadrā juga menekankan bahwa akal merupakan nabi batin bagi manusia, yang hanya termanifestasi secara sempurna pada diri mereka yang al Qur’an menyebutnya sebagai ‘orang-orang yang mendalam ilmunya (al rāsikhūna fī al ilmi)[5]’. Dalam Mafātīḥ Ṣadrā menyatakan:
“Apa yang diraih atau akan diraih oleh orang-orang yang rāsikh (mendalam) ilmunya dan urafa muhaqqiq seputar rahasia-rahasia al Qur’an sama sekali tidak bertentangan dengan tafsir (makna) lahiriyahnya. Ia bahkan merupakan penyempurna dan pelengkap bagi (makna lahiriyah). Ta’wīl pada hakikatnya beranjak dari (makna) lahiriyah sehingga sampai menuju inti kedalamannya, melewati permukaan menuju batin dan rahasianya”[6].
Ṣadrā telah menulis beberapa karya tafsir. Risālah dan karya tafsir Ṣadrā yang telah dikumpulkan oleh Muḥammad khājavī menjadi tujuh jilid, dan dinamakan dengan ‘tafsīr al qur’ān al karīm’. Ia memulai penulisan tafsirnya dari ayat kursī dan ayat al nūr. Tafsir ayat kursī ini diperkirakan ditulis oleh Ṣadrā pada tahun 1613, sedangkan tafsir ayat al nūr pada 1621. Dan selanjutnya pada tahun 1621 hingga 1632 ia melanjutkan penafsirannya pada beberapa surat al Qur’an, seperti: sūrah yāsīn, al ḥadīd, al wāqīʿah, al ‘a’lā, al ṭāriq, dan di akhir hidupnya menafsirkan Q.S. al fātiha dan beberapa Q.S. al baqarah (walaupun tidak selesai). Kedua tafsir ini (.S. al fātiha dan Q.S. al baqarah) ditulis pada tahun 1632 – 1634[7]. Sepertinya, kematian-lah menjadi penyebab mengapa Ṣadrā tidak menyelesaikan karya tafsirnya.
Secara ringkas, karya tafsir tersebut bisa dikategorikan dalam dua jenis, yakni tafsīr atas sūrah dan tafsīr atas ’āyah. Beberapa sūrah al Qur’ān yang telah dikomentari Ṣadrā diantaranya; sūrah al fātiḥah, al baqarah, al sajadah, yāsīn, al ḥadīd, al wāqīʿah, al jumuʿah, al ṭāriq, al ’aʿlā dan al zilzāl. Sedangkan untuk kategori ’āyah ada tiga, yakni; ’āyah al kursī, al nūr dan Q.S. al naml (27): 88.[8]
Untuk menghindari terjadinya pengulangan inti dan pokok-pokok utama intuitif spiritual dalam beberapa risālah tafsir tersebut, maka Ṣadrā juga menulis Mafātīḥ al Ghayb. Seakan sebelum membaca atau memahami tafsir Ṣadrā, pembaca diajak untuk merujuk pada ikhtisar tema-tema filosofis atas al Qur’an dalam Mafātīḥ. Mafātīḥ merupakan ikhtisar (ringkasan) yang berisi tema-tema dan permasalahan-permasalahan terkait dengan al Qur’an.
Mafātīḥ diperkirakan ditulis pada tahun 1042/ 1632[9], suatu fase dimana Ṣadrā aktif menulis beberapa karya yang mengurai tema-tema dan permasalahan-permasalahan terkait dengan al Qur’an. Jadi, Mafātīḥ ditulis sesudah penulisan tafsir ayat kursī (1613) dan ayat ayat al nūr (1621), dan dimungkinkan ditulis beriringan dengan penulisan beberapa risālah tafsir (antara tahun 1621 hingga 1632), diantaranya: Q.S al ṭāriq, yāsīn, al ḥadīd, al wāqīʿah, al ’aʿlā, al jumuʿah dan al zilzāl [10].
Jumlah halaman pada Mafātīḥ, yang dikomentari oleh Mulla ‘Ali Nuri, lebih dari 700 halaman. Karya ini mencakup sebuah pengantar penting dan 20 bab. 10 bab pertama menjadi bagian pertama, sedangkan 10 bab terakhir, menjadi bagian kedua. Masing-masing bab terdiri dari beragam anak judul yang mengulas tema-tema yang lebih spesifik. Dari 20 bab tersebut, hanya 2 bab pertama yang secara khusus mengulas secara khusus tentang metodologi tafsir (hermeneutika al Qur’an). Dalam Mafātīḥ, Ṣadrā menulis beragam tema terkait dengan al Qur’an. Buku ini juga membahas tentang nilai-nilai etik (akhlak), metafisika dan pesan-pesan spiritual al Qur’an.
Karya teoritis penting lainnya adalah Asrār al Ayāt wa Anwār al Bayyināt. Asrār al Ayāt ditulis oleh Ṣadrā setelah Mafātīḥ, yakni sekitar pada fase akhir karir intelektualnya[11]. Asrār al Ayāt terdiri dari sebuah pengantar dan tiga seksi. Setiap seksi (bagian) dibagi-bagi menjadi sub seksi (ṭarāf), yang Ṣadrā namakan sebagai tempat penyaksian (mashhād), dan setiap mashhād terdiri dari beberapa kaidah (qā’ida). Jangkauan karya ini sangat luas walaupun diulas secara singkat, hal ini dikarenakan Ṣadrā memaparkan tema-tema teologi, filsafat dan mistik secara luas. Ṣadrā juga sering menarik ayat-ayat al Qur’an dalam pemaparannya. Dalam Asrār al Ayāt, Ṣadrā mengulas juga nama-nama dan karakteristik al Qur’an, perbedaan antara kalām Allah dan al kitāb, wahyu, kenabian, dan karakteristik kitab suci.
Karakteristik Tafsir Q.S al a’lā:
Tafsir Q.S. al ’aʿlā merupakan sebuah karya Ṣadrā yang memfokuskan pembahasannya pada doktrin-doktrin agama. Ṣadrā mengulasnya secara runut; berawal dari ketahuidan (al mabdā’), kenabian (nubuwah) dan kebangkitan (maʿād ). Ṣadrā juga menyatakan bahwa tafsir ini merupakan penyingkapan spiritual yang datang dari al malakūt al a’lā; yang berbasiskan pada dhauq ayat-ayat al Qur’an[12]. Tafsir Q.S. al ’aʿlā, selain ringkas, juga tersusun secara sistematis dan terstruktur.
Agak sulit menetapkan kapan tafsir ini ditulis oleh Ṣadrā, tetapi ia termasuk dalam kategori kitab-kitabnya yang akhir, dan dimungkingkan ditulis paska uzlah yang cukup lama. Jika diperkirakan bahwa Ṣadrā menulis tafsir Q.S al a’lā pada tahun antara 1621-1632[13], maka kitab ini dikategorikan sebagai salah satu karya yang ditulis pada fase kematangan intelektualnya.
Tujuan penulisan kitab ini dijelaskan oleh Ṣadrā sendiri dalam pengantar dan penutup tafsir ini, yakni untuk menguraikan hakikat jalan kebenaran, khususnya jalannya penutup para nabi (khātim), Muhammad saw, serta menarik hati manusia untuk meniti jalan ini agar mendapatkan hakikat kebahagiaan di akherat kelak.
Tafsir ini memuat pendahuluan, tujuh bab, dan satu paragraph penutup yang singkat. Setiap bab pada tafsir ini diberikan judul dengan tasbīḥ (pernyataan pemujian dan pensucian), dan setiap tasbīḥ dikhususkan pada beberapa ayat. Walaupun setiap bab diawali dengan ‘tasbīḥ’ dan pensucian Tuhan, akan tetapi ia tetap memaparkan beragam pokok persoalan terkait metafisika al Qur’an, semisal; kesucian Dhāt Tuhan, sifat-sifat Tuhan, tingkatan kebahagian dan derita manusia, dan prinsip-prinsip pokok pandangan dunia tentang nilai pentingnya pengetahuan atas ketuhanan, kenabian dan hari akhir (al mabdā’, al ṣirāṭ al mustaqīm dan maʿād).
Surat ini diawali dengan kata imperative (bentuk perintah), yang dalam bahasa arab biasa disebut sebagai fi’il amr; yakni memerintahkan pembaca untuk mengagungkan dan memuji nama Tuhan (sabbiḥ ism rabbika l-a’lā). Dengan alasan inilah Ṣadrā menamakan setiap bab pada tafsir ini dengan tasbīḥ.
Ṣadrā memulai tafsir Q.S al a’lā dengan penjelasan tentang denotasi utama (al maqṣūd al aṣlī) dari akar kata sabbaḥa. Denotasi/ maksud dari akar kata ini adalah ‘pensucian Tuhan’. walaupun akar kata tersebut men-denotasi-kan akan ‘pemujian’ atau ‘pensucian’, hal ini juga menunjukan sejauh mana posisi diri kita mampu menyandangkan sifat-sifat Tuhan secara tepat. Tuhan suci dari sifat-sifat imkāniyah makhluk. Dengan demikian, masing-masing bab dimulai dengan pensucian Tuhan, dan kemudian mencoba untuk menangkap beragam pokok permasalahan, seperti pemeliharaan Tuhan atas makhluk, butuhnya makhluk pada Tuhan, sifat-sifat dan tindakan-tindakan (af’āl) Tuhan dan jenis penderitaan maupun kebahagiaan yang dialami manusia pasca kematian.
Sebagaimana dalam risālah-risālah tafsir Ṣadrā lainnya, sebelum mengulas lebih dalam tentang tafsirnya, Ṣadrā memulai penafsirannya dengan pemaparan philologi bahasa yang terkait dengan ayat. Metode seperti ini menjadi ciri khusus tafsir Q.S al a’lā, karena pada setiap bab-nya terwarnai dengan hal demikian. Karakter semacam ini bisa kita temukan dalam Q.S al a’lā, misalnya kata sabbaḥa dan ism pada ayat pertama, kata khalaqa dan taswiyah pada ayat kedua, kata qaddara dalam ayat ketiga, dan kata aḥwā dalam ayat ke lima.
Terkait dengan gramatika dan tata bahasa, sepertinya Ṣadrā kurang tertarik dengan pembahasan semacam ini karena peneliti tidak menemukannya dalam tafsir Q.S al a’lā walaupun pada risālah tafsir lainnya Ṣadrā juga terkadang memberikan beberapa pendapat yang berbeda pada kata atau frase ayat al Qur’an, gramatikal, dan pendapat-pendapat yang berbeda dari para pakar mufassir sebelumnya.
Pada tafsir ini (Q.S al a’lā) Ṣadrā juga tidak membahas sebab turunnya ayat (asbāb al nuzūl) dan gharāib al Qur’ān. Pada tafsir ini juga tidak ada perbandingan penafsiran ayat dengan pendapat beberapa pendapat para teolog, filsuf maupun mufassir sebelumnya.
Ciri khas yang menonjol pada risālah tafsir ini adalah selain pengetahuan batin spiritual dan demonstrasi rasional yang tergali dari makna lahiriah ayat al Qur’an, ia juga memberikan perhatian pada bimbingan spiritual menuju hakikat wahyu ayat suci al Qur’an. Sadra memberikan banyak diskursus rasional tentang jalan spiritual dan etik (akhlak) guna mencapai kebahagiaan sejati. Dalam beberapa hal, Ṣadrā menggunakan metode penafsiran antara al Qur’an dengan al Qur’an ataupun antara al Qur’an dengan hadith.
Metodologi Tafsir Ṣadrā:
Terkait dengan metode tafsir, Ṣadrā mengklasifikasi karya tafsir al Qur’an berdasarkan metodologi yang digunakan oleh seorang mufassir dan melakukan kritik atasnya, diantaranya[14]:
Pertama, karya tafsir yang hanya mendiskusikan teknik-teknik literal dan makna verbal; serta permasalahan-permasalahan retorika al Qur’an.
Kedua, karya tafsir yang menggunakan sisi lahiriah al Qur’an untuk mendapatkan pengetahuan akan problem-problem hukum dan tuntunan etik.
Ketiga, karya tafsir yang mengalihkan (membuang) sisi lahiriahnya dengan tujuan untuk memaksakan pandangan pribadinya pada al Qur’an.
Keempat, karya tafsir yang tetap menerima sisi lahiriyah al Qur’an, dan selanjutnya mencari misteri-misteri, rahasia-rahasia, dan dengan bantuan intelek (akal), intuisi dan iluminasi Tuhan untuk memperoleh realitas-realitas dan makna- makna dibalik selaput ekternalnya (aspek literalnya).
Diantara empat metodologi tersebut, Ṣadrā hanya menerima metode yang ke-empat dan meyakini kebenaran metode ini. Inilah yang menjadi titik beda Ṣadrā dengan para mufassir lainnya. Jadi, Ṣadrā menolak metode para mufasir yang hanya memfokuskan pada makna lahiriyah nash dan melupakan sisi batinnya. Dan sebaliknya, Ṣadrā juga menolak metode kaum batini yang hanya memfokuskan pada batin ayat dan meninggalkan sisi lahiriyah-nya.
Akan tetapi, Ṣadrā juga menegaskan bahwa jika tidak ada pilihan lain dari keduanya, Ṣadrā lebih mengutamakan metodenya kaum ẓāhirī dibandingkan bātinī. Hal ini dikarenakan, dengan berpegang teguh pada lahiriah, minimal, akan menjaga wadah al Qur’an (sisi luarnya). Jika tidak ada sisi ẓāhir, maka tidak ada sisi bātin.
Menurut Ṣadrā, ada tiga cara untuk mendapatkan makna al Qur’an: pertama, dengan merujuk kepada buku gramatikal dan tata bahasa; yang kedua, dengan melalui mediasi intuisi dan pengetahuan secara langsung; dan yang ketiga, dengan mengungkap makna teks dengan bantuan potensi akal. Oleh karena itu, dalam proses ta’wīl, seorang mufassir harus selalu melihat aspek-aspek tersebut. Jadi, ta’wīl bukanlah menghilangkan makna verbal (literal) dari kata, tidak juga menggantungkan pada intuitif semata ataupun tidak mengindahkan kaidah-kaidah rasional[15].
Thus, metodologi tafsir yang tepat menurut Ṣadrā adalah menempatkan teks-teks syariah (ayat-ayat al Qur’an) bukan hanya sekedar realitas simbolik semata, Akan tetapi berdasarkan pada realitas bahasa yang hakiki yang menunjukan realitas eksternal sebagaimana adanya. Seorang mufassir harus mampu menjaga relasi-relasi tiga realitas (yang sudah dibahas diatas) dan menjaga ruh maknanya. Ruh makna tersebut merupakan penyatu antara makna lahir dan batin sehingga keduanya tidak saling bertentangan[16]. Metode seperti ini merupakan metode yang digunakan oleh orang yang mendalam ilmunya (al rāsikhīna fī al ilmī)[17] yang Tuhan telah pilih untuk penyingkapan realitas, makna spiritual dan rahasia-rahasia ta’wīl[18]. Al rāsikhīna fī al ilmī merupakan orang yang menerima ilmunya dengan jalan ilhām rabbānī, yakni tidak ada keraguan sedikitpun dalam dirinya (akal dan hatinya) tentang kebenaran pengetahuan yang mereka dapatkan, sehingga mereka mampu menerapkan ta’wīl secara tepat terhadap kalām Tuhan. Suatu penafsiran yang menerima makna ẓāhir (literal) dari lafaẓ–lafaẓ al Qur’an, dan selanjutnya dengan bantuan akal, intuisi dan wahyu mengungkap realitas dibaliknya, yakni mencari rahasia-rahasia yang terdapat dibalik makna literal tersebut.
Terkait dengan metode ini, Ṣadrā mengatakan:
“…Keempat, mereka adalah ahli makrifat dan mereka itu mendalam (rāsikh) ilmunya dan telah mendapatkan cahaya suci dan ruh Ilahi sehingga mereka sampai pada kedalaman rahasia-rahasia syariah. Bahkan tanzīh (visi pensucian atau transendensi Tuhan, bahwa Tuhan tidaklah identik dengan alam) yang mereka pahami berbeda dengan tanzih yang dipahami Asy’ari dan sebagian filsuf. Mereka (ahli makrifat) meyakini tanzīh pada saat yang sama adalah tashbīḥ (visi imanensi Tuhan, bahwa Tuhan memiliki kemiripan dengan alam), dan mereka menyatukan antara tashbīḥ dan tanzīh”[19].
Dalam Tafsīr Q.S. al a’lā, Ṣadrā tidak menggunakan satu metode. Selain argumentasi rasional ia banyak menaruh perhatian pada pengetahuan spiritual dan intuitif. Kita akan menemukan warna gnostik (irfān) dan sufistik dalam tafsir ini walaupun tidak begitu kental sebagaimana yang terjadi pada tafsir ayat al nūr dan ayat kursī. Bahkan kita akan merasakan kesan dinamis ketika menela’ah tafsir ini. Kemungkinan besar kesan seperti ini muncul karena tafsir ini ditulis pada masa paska uzlah-nya[20]. Gaya penulisan pada tafsir ini hampir menyerupai dengan mufassir lainnya, yakni ia mengawali dengan pemaparan kata dan sisi lahiriyahnya, kemudian memasuki makna-makna dan derifasinya, selanjutnya, diperkuat dengan argumentasi-argumentasi rasional. Ṣadrā tidak banyak memberikan perhatian pada sisi literal ayat, walaupun dalam beberapa hal, ia membahasnya dan terkadang menukil beberapa hadith sebagai penguat argumentasi.
Pada tafsir ini, Ṣadrā tidak terlalu tertarik pada gagasan-gagasan para mufassir dan teolog pada masanya ataupun sebelumnya, karena ia lebih banyak berkonsentrasi pada upaya deskripsi dan pemaparan muatan-muatan makna al Qur’an yang berdasarkan pada intuisi personalnya. Bahkan dalam tafsir Q.S. al a’lā, Ṣadrā hanya menyinggung dan mengkritik pemikiran teolog semisal dari golongan Mu’tazilah, Ay’ariyah dan filsuf hanya dengan enam baris kalimat saja.
Nilai-Nilai Penting yang Terkandung dalam Tafsir Q.S al a’lā:
Secara garis besar, pembahasan-pembahasan yang terkandung di dalam tafsīr Q.S. al a’lā adalah tentang tiga prinsip dasar, yakni tentang ketuhanan, kenabian dan hari akhir. Ketuhanan diulas oleh Ṣadrā dalam tasbīḥ pertama dan kedua, kenabian dalam tasbīḥ ketiga. Sedangkan tentang hari akhir (ma’ad) Ṣadrā memberikan ruang yang cukup luas pada tasbīḥ keempat hingga tasbīḥ ketujuh. Ketiga prinsip dasar agama ini dijelaskan oleh Ṣadrā sendiri dalam pengantar tasbīḥ ketujuh. Ṣadrā menulis:
“Pengetahuan-pengetahuan (maʿārif) yang disebut dalam surah ini merupakan fondasi realitas, yakni diawali dengan pengetahuan tentang ketuhanan (maʿrifah al ilāhiyāt), ditengahi dengan pengetahuan tentang kenabian (maʿrifah al nubuwwāt), dan diakhiri dengan pengetahuan tentang hari akhir (maʿrifah al maʿād). Pengetahuan semacam ini merupakan agama Ilahi dan jalan lurus” [21].
Pada tasbīḥ pertama tafsīr Q.S. al a’lā, Ṣadrā mendeskripsikan kesucian Dhāt Tuhan dengan argumentasi ciptaan hewan, sedangkan pada tasbīḥ kedua ia menjelaskan ināyah, ḥikmah dan kesucian-Nya dengan argumentasi keberadaan tumbuhan.
Argumentasi yang tertuang dalam kedua tasbīḥ tersebut bisa dikategorikan sebagai burhān ‘innī; argumentasi yang bergerak dari efek naik menuju sebab. Argumentasi semacam ini (burhān ‘innī), dari sudut pandang seorang filosof, tidak memberikan keyakinan yang mantap, akan tetapi Ṣadrā menggunakannya dalam tafsirnya. Bahkan, sangat disayangkan Ṣadrā tidak memaparkan burhān aṣ Ṣiddiqīn, sebuah argumentasi yang diyakini Ṣadrā sebagai argumentasi terbaik untuk membuktikan wujud Ta’ala.
Sikap Ṣadrā ini – yang mana tidak memaksakan burhān aṣ Ṣiddiqīn dalam tafsīr Q.S. al a’lā– menjadi salah satu bukti bahwa Ṣadrā tidak mendahulukan pandangan filsafatnya atas al Qur’an. Ia tidak membawa pandangan filsafatnya dan mencari justifikasi kebenaran teori yang diyakininya melalui al Qur’an. Bahkan, sebaliknya, ia menyodorkan pertanyaan secara langsung kepada al Qur’an dan mencari jawaban atasnya dari al Quran itu sendiri. Ia menjalankan proses tafsīr bukan tahmīl.
Selain burhān ‘innī, pada tafsīr Q.S. al a’lā, Ṣadrā juga beberapa kali menggunakan kaidah al imkān al ashraf. Kaidah ini hampir mewarnai seluruh tafsir ini. Ṣadrā menggunakan kaidah ini untuk menjelaskan tentang argumentasi hakekat nama Tuhan, argumentasi ciptaan, maupun argumentasi jiwa dan potensi yang dimiliki oleh hewan pada tasbīḥ pertama dan kedua; ilmu Tuhan, derajat dan kemuliaan yang dimiliki nabi Muhammad saw pada tasbīḥ ketiga; dan tingkatan manusia serta tingkatan kebahagiaan pada tasbīḥ selanjutnya.
Pada tasbīḥ ketiga tafsīr Q.S. al a’lā, Ṣadrā secara khusus mengulas tentang karakteristik seorang nabi, khususnya tentang kesempurnaan yang dimiliki oleh nabi Muhammad saw. Kesempurnaan yang dimilikinya merupakan kesempurnaan hakiki, yakni memiliki kesempurnaan dalam dua fakultas, fakultas teoritik (al quwwah al naẓariyyah) dan fakultas praktik (al quwwal al ʿamaliyyah); memiliki kemampuan untuk mengambil wahyu dari Tuhan, menyampaikannya kepada makhluk (khususnya manusia) dan membimbingnya untuk menuju proses perfeksi (takammul)[22]. Setiap orang yang memiliki kesempurnaan ilmu hakiki maka lazim baginya memiliki kesempurnaan dalam keseluruhan sifat-sifat sempurna (kamīlan fi jamī’ al sifāt al kamāliah li al maujūd bimā huwa maujūd), dan terbebas dari segala sifat kekurangan. Ia merupakan cerminan kesempurnaan, bukti (hujjah) dan tanda (ayāt) teragung bagi Tuhan.
Melalui argumentasi semacam itu, maka Ṣadrā menyimpulkan bahwa seseorang yang hanya mencapai kesempurnaan dalam amal, tanpa pengetahuan (ilmu) maka tidaklah bisa disebut sebagai seseorang yang telah mencapai kesempurnaan hakiki; dan tidak layak memanggul posisi kenabian ataupun wakil Tuhan (khilāfah)[23].
Kesempurnaan semacam ini memiliki nilai penting karena sebagaimana salah satu tujuan dari diutusnya para nabi adalah melakukan bimbingan dan menyediakan jalan bagi manusia menuju Tuhannya. Seseorang yang tidak memiliki kesempurnaan semacam ini maka mustahil baginya untuk mampu mengemban tugas berat ini. Oleh karenanya, Ṣadrā menyatakan bahwa: “seseorang yang hanya mencapai pada dataran teoritik semata, tenggelam dalam penyaksian keindahan dan keagungan Tuhan dan tidak mampu melepaskan diri dari kesibukan tersebut untuk kembali memperhatikan realitas di luar dirinya, maka ia hanya disebut sebagai wali yang mengalami ke-fanā’-an”[24].
Ṣadrā juga memiliki dua konsep tentang kenabian, yakni khusus dan umum. Kenabian khusus (al nubuwwah al tashrīʿiyah), yakni Tuhan memberikan risālah secara khusus kepada seorang nabi lewat malaikat pembawa wahyu. Kenabian jenis ini telah berakhir, dan tidak ada seorang nabi semacam ini setelah kenabian penutup, Muhammad saw. Sedangkan kenabian umum akan tetap berlanjut. Kenabian dan pengetahuan eksoteris semacam ini diberikan kepada seseorang yang telah memiliki akses pada sumber pengetahuan ini menurut tingkatan perjalanan spiritualnya kepada Tuhan.
Dari sudut pandang ini terlihat jelas bahwa dalam pandangan Ṣadrā kenabian umum tetaplah ada. Kenabian jenis ini disebut juga sebagai kekasih Tuhan (wilāyah). Mereka sebagai penghubung dan perantara (al ḥad al mushtarak) antara manusia dengan Tuhan; perantara antara ʿālam al amr dan ʿālam al khalq; antara ʿālam maʿqūlāt dan ʿālam mahsūsāt (alam inderawi)[25].
Salah satu ciri-ciri seseorang yang menempati posisi al ḥad al mushtarak adalah pada satu sisi terkadang ia sibuk dengan ibadah dan kecintaan pada al Haq, dan terkadang ia bersama makhluk dengan kasih sayang dan rahmat. Oleh karenanya, ketika ia kembali dari al Haq menuju makhluk menjadi seolah menyatu dengan makhluk, dan seakan tak mengetahui Tuhan (al Haq). Dan ketika sendiri bersama Tuhannya, ia sibuk dengan berdzikir dan khidmat pada-Nya seolah ia tidak mengetahui makhluk (khalq). Ṣadrā menyatakan bahwa ini merupakan jalannya para rasul dan ṣiddīqīn[26].
Gagasan Ṣadrā semacam ini melazimkan bumi harus selalu ada manusia sempurna. Pemaparan semacam ini merupakan isyarat bahwa Ṣadrā hendak menjustifikasi kebenaran keyakinan teologi Shī’ah imāmiyah bahwa bumi ini harus selalu ada seorang ḥujjah, baik ia berupa seorang nabi, imam, wali atau washi.
Walaupun teori yang ditawarkan Ṣadrā tentang kenabian semacam ini sangat rasional dan tidak terkesan apologetik sebagaimana seorang teolog, akan tetapi ini menunjukan keterpengaruan Ṣadrā pada doktrin dan ajaran maẓāb yang ia yakini, yakni Shī’ah imāmiyah. Ṣadrā hendak menjustifikasi kebenaran keyakinan teologi Shī’ah imāmiyah berdasarkan pada prinsip-prinsip rasional dan ayat-ayat al Qur’an.
Selanjutnya, pada tasbīḥ keempat hingga tasbīḥ ketujuh tafsīr Q.S. al a’lā, Ṣadrā mengulas tentang tingkatan jiwa manusia, kebahagiaan dan deritanya pasca kematian di akherat kelak serta konsep etik (akhlak).
Pada empat tasbīḥ terakhir tersebut (tasbīḥ ke empat hingga ke tujuh) Ṣadrā sangat menekankan pentingnya pengetahuan sehingga menjadikannya sebagai basis capaian kebahagiaan di akherat kelak.
Kebahagiaan dalam filsafat Ṣadrā itu diidentikan dengan kesempurnaan dan kebaikan. Jalan untuk mencapai kesempurnaan wujud tersebut terdapat pada persepsi jiwa dan kesadaran diri. Dan karena persepsi itu bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan objek persepsinya, maka akan meniscayakan adanya tingkatan sesuai dengan sejauh mana capaian persepsinya. Kadar kemuliaan pengetahuan tergantung pada kadar kemulian objek pengetahuannya (maʿlūm)[27], maka kebahagiaan hakiki yang dimaksudkan oleh Ṣadrā bukanlah sesuatu yang berkaitan dengan ilmu-ilmu partikular akan tetapi pengetahuan yang berkaitan dengan Tuhan, sifat-sifat-Nya dan ’afʿāl-Nya (pengaturan terhadap malaikat, alam semesta, kitab dan rosul-Nya).
Pengetahuan semacam ini akan memberikan kenikmatan yang begitu agung ketika terbukanya segala hijab di akherat kelak. Pengetahuan yang berlandaskan pada argumentasi kuat (meyakinkan) akan menyempurnakan jiwa manusia dan menghilangkan segala hijab tersebut sehingga mengantarkan manusia agar mampu menyaksikan realitas sebagaimana adanya di akherat kelak.
Berdasarkan pada basis ini, maka kebahagiaan hakiki itu terkandung dalam persepsi intelektual (al idrāk al ʿaqlī). Sesuai dengan kaidah ‘al imkān al ashraf’, maka kenikmatan hal-hal yang berkaitan dengan ruh tentu lebih mulia dibandingkan kenikmatan yang berkaitan dengan badan karena substansi ruh lebih mulia dibandingkan dengan substansi badan. Dalam tafsīr Q.S. al ’aʿlā, Ṣadrā menyatakan:
“…Ilmu merupakan penyempurna ruh, sedangkan amal merupakan penyempurna badan… Substansi ruh itu lebih mulia dibandingkan substansi badan. Oleh karenanya-lah kenikmatan dan kesempurnaannya lebih mulia (ashraf) dibandingkan dengan kesempurnaan badan. Kesenangan tentang ma’rifatullah itu merupakan lebih mulia dibandingkan kesenangan-kesenangan yang terkait dengan kenikmatan makanan, syahwat pernikahan dan keindahan pakaian… ”[28].
Dan sebaliknya, salah satu halangan terbesar untuk meraih kebahagiaan tersebut adalah cinta pada dunia. Ṣadrā menyatakan: “hijab antara kita dengan Tuhan adalah dunia. Dunia kita adalah sibuknya diri kita dengan keterikatan perkara-perkara duniawi yang rendah (yang akan sirna)”[29].
Oleh karenanya, untuk mengikis penghalang tersebut melalu tafsīr Q.S. al ‘aʿlā Ṣadrā menekankan sebuah proses suluk dan tazkiya al nafs, yakni dengan dua proses suluk (suluk ilmi dan amali). Walaupun Ṣadrā menekankan suluk pada dua hal tersebut, akan tetapi terkesan bahwa Ṣadrā memberikan prioritas pada suluk ilmi daripada amali. hal ini dikarenakan kebodohan (al jahl) terhadap realitas dunia dan manusia menyebabkan bodoh akan pencipta (Tuhan). Dan sebaliknya, kebodohan (al jahl) akan Tuhan juga menyebabkan bodoh terhadap segala sesuatu. Hal ini penyebabkan tercabutnya seseorang dari fitrah insāniyah-nya. Dalam tafsīr Q.S. al ’aʿlā, Ṣadrā menyatakan: “dosa dan keburukan itu mengikuti kebodohan (al jahl al murakkab), sedangkan segala kebaikan mengikuti ilmu”[30]. Dalam tafsīr-nya ia juga menegaskan: “derita kebodohan lebih berat dibandingkan dengan derita kemaksiatan badan”[31]. Dalam Mafātīḥ, Ṣadrā menyatakan hal yang sama: “…pangkal segala kebaikan adalah pengetahuan terhadap segala realitas dan amal terhadapnya, sedangkan pangkal dari segala keburukan adalah kebodohan dan setiap tindakan yang ditujukan kepada syahwat dan amarah…”[32].
Dari deskripsi tersebut diketahui; walaupun Ṣadrā sangat menekankan amal sholeh, akan tetapi jelas bahwa ia memberikan penghargaan yang lebih besar pada teoritis (ilmu dan ma’rifat) dibandingkan dengan praktis (amal). Hal ini berbasiskan pada suatu prinsip bahwa kedekatan kepada Tuhan dan kebahagiaan akherat tidak dapat dicapai kecuali hanya dengan pengetahuan, bukan hanya pada amal (keta’atan) semata. Kedekatan kepada Tuhan (liqā’ billah) adalah tujuan, sedangkan amal sebagai sarana (wahana) untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan takwa, seseorang akan mendapatkan keselamatan, sedangkan dengan ilmu seseorang akan mendapatkan kedekatan dan posisi yang tinggi di sisi Tuhannya.
Jadi, konsep etika (akhlak) Ṣadrā yang tertuang dalam tafsīr Q.S. al ‘aʿlā, secara umum berasaskan pada prinsip pertengahan dan keseimbangan (‘adālah dan tawassuṭ), yakni keselarasan antara ilmu dan amal; tidak bersikap ekstrim, guluw dan berlebih-lebihan (ifrāṭ) ataupun tidak juga terlalu menyepelekan dan bermalas-malasan (tafrīṭ); bukan terpaksa (jabr) ataupun bebas penuh (tafwīd) akan tetapi diantara keduanya; keselarasan antara akal dan syariat, dhohir dan batin ataupun selaras dalam aspek individual maupun sosial.
Refleksi Spiritual Terhadap Potensi Diri Manusia:
Selain beberapa pesan-pesan penting diatas, terdapat pesan penting lainnya yang mewarnai tafsir ini, yakni tentang tasbīh. Kata tasbīh sendiri inilah yang dipilih oleh Ṣadrā sebagai nama pada setiap bab tafsir ini.
Sang penasbih (musabbiḥ) sejati haruslah menyadari bahwa semua keberadaan (maujūdāt) yang secara ẓāhir maupun bāṭin; seluruh alam baik yang kasat mata (ẓāhir) ataupun yang ghaib – semuanya – berada dalam gemblengan nama-nama Tuhan. Seluruh alam berdasarkan pada swa-eksistensi bersumber dari nama teragung Tuhan (al ism al ’aʿẓam). Semua maujud secara genetis (takwīnī) dan intrinsik (dhātī) adalah ber-tasbīh.
Pengetahuan semacam ini akan memberikan kesadaran bahwa sang penasbih (musabbiḥ) merupakan bagian dari alam, atau bahkan ia merupakan alam dalam dirinya sendiri (mikrokosmik). Sang penasbih akan mensucikan Tuhan karena Tuhan itu sendiri, yang dengan ināyah-Nya lah yang telah mengeluarkannya dari potensialitas menuju aktualitas, dari kekurangan menuju kesempurnaan. Ia menyadari bahwa manusia merupakan produk terakhir (buah) yang dihasilkan oleh alam; yang telah melewati gerak substantif yang panjang; bermula dari keunsuran, kemineralan, tumbuh-tumbuhan, dan kehewanan hingga mencapai kemanusian. Sebuah simbolisme yang mengekspresikan bahwa seluruh alam kembali menuju Tuhan melewati manusia. Selanjutnya, karena wujud itu bergradasi dan bertingkat-tingkat, maka ketika seseorang semakin meningkat tingkat kesadarannya, maka ia akan semakin merefleksikan dan memanifestasikan wujud. Nabi Muhammad saw yang digambarkan oleh Sadra, dalam tasbīh ketiga tafsīr Q.S. al ‘aʿlā, merupakan bentuk sempurna dari musabbih yang telah mencapai titik puncak tangga perfeksi (takammul) menuju Tuhan yang berposisi sebagai perantara (ḥad al mushtarak) antara Tuhan dan makhluk, perantara antara ālam al amr dan ālam al kholq; antara ālam ma’qulāt dan ālam mahsusāt (alam inderawi).
Merujuk pada salah prinsip terpenting dari filsafat Ṣadrā, yakni tentang teori gerak substansi (harakah jauhariyah), maka kita mengetahui bahwa sangat memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan penyempurnaan diri (takammul). Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang akan sangat mempengaruhi dirinya. Pengetahuan terhadap permasalahan-permasalahan tentang ketuhanan, kenabian dan kebangkitan (ma’ād) akan menggerakan kesadaran eksistensi dan ideologis seseorang, karena secara potensi sangat memungkinkan bagi setiap diri manusia untuk meningkatkan kesadaran dan wujudnya.
Dalam tafsir Q.S. al ‘aʿlā: 6-9, Ṣadrā menunjuk diri nabi Muhammad saw sebagai manusia paripurna (al insan al kamil) yang menghimpun keseluruhan kesempurnaan tersebut. Berangkat dari diri nabi inilah, kita diajak untuk meneladani sosok nabi yang secara sempurna telah berhasil mengukir sifat-sifat mulia itu secara lahir dan batin. Kita juga diajak menta’ati dan mengamalkan seluruh ajaran agama (syariat) yang dibawa nabi karena agama yang dibawanya merupakan jalan keselamatan itu sendiri. Yang dimaksud kesadaran ini bukan hanya pengatahuan semata, akan tetapi harus dilengkapi dengan amal. Tujuan dihadirkannya agama adalah agar pemeluk (umat)-nya sibuk mengukir sifat-sifat Mulia Tuhan yang diperkenalkan lewat para nabi-Nya. Efek dari keteladanan tersebut adalah hidup manusia (pemeluk agama) tersebut menjadi mulia, pengasih, bermurah hati dan beragam sifat mulia lainnya.
Kesimpulan:
Tafsir Q.S. al ’aʿlā merupakan sebuah karya yang unik dan berbeda dengan karya-karya tafsir Ṣadrā lainnya, yakni selain ringkas, tafsir ini disusun secara sistematis dan terstruktur. Metodologi tafsir yang digunakan oleh Ṣadrā pun tidak terkesan monoton, karena selain argumentasi rasional, kita akan menemukan warna gnostik (irfān) dan sufistik dalam tafsir ini. Selain itu, karakteristik khas pada tafsir ini yang agak berbeda dengan karya komentar Ṣadrā lainnya ialah ia tidak banyak melakukan kritik pemikiran terhadap teolog ataupun mufassir yang berbeda pandangan dengannya.
Ṣadrā menamai setiap bab pada tafsir ini dengan tasbīḥ (pernyataan pemujian dan pensucian), dan setiap tasbīḥ dikhususkan pada beberapa ayat. Pada tasbīḥ pertama dan kedua Ṣadrā mengulas tentang ketuhanan (mabda’), pada tasbīḥ ketiga ia membahas tentang kenabian (nubuwwah), sedangkan pada tasbīḥ keempat hingga ketujuh ia mengulas tentang hari akhir (ma’ād). Ṣadrā menggambarkan nilai penting ketiga prinsip dasar agama tersebut secara rasional dan sufistik sehingga tidak terkesan apologetik sebagaimana seorang teolog. Bahkan bisa dikatakan bahwa tafsīr Ṣadrā: Q.S. al ‘aʿlā merupakan salah satu bukti keberhasilan Ṣadrā untuk menunjukan bahwa adanya keselarasan antara kaidah-kaidah rasional dengan ajaran-ajaran agama (doktrin agama); khususnya terkait dengan permasalahan-permasalahan tentang ketuhanan, kenabian dan kebangkitan (ma’ād).
Daftar Pustaka:
1. | Khamenei, Muhammad, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, Tehran: Sadra Islamic Philosophy Research Institute (SIPRIn), 2004 = 1383. |
2. | ________, the Qur’anic Hermeneutics of Mulla Sadra, Tehran: SIPRIn Publications, 2006 = 1385. |
3. | ________, Exegesis Fundamentals and Qur’anics for Mulla Ṣadrā, (SIPRIn@mullaṢadrā .org) |
4. | Nasr, Hossein, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Translated from: History of Islamic Philosophy, Bandung: Mizan, 2003. |
5. | ___, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy, New York: State University of New York Press, 2006. |
6. | ___, the Qur’an and Hadith as Source and Inspiration of Islamic Philosophy. |
7. | Nur, Muhammad, Takwil dalam Pandangan Mulla Sadra, in Kanz Philosophia: a Journal for Islamic Philosophy and Mysticism, vol. 2, no. 2, December 2012. |
8. | Rustom, Mohammed, Qur’anic Exegesis in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra’s Tafsīr Surah al- Fātihah, University of Toronto, 2009. |
9. | ______, the nature and significance of Mulla Ṣadrā’s Qur’anic Writing. |
10. | Ṣadrā, Mohammad al Shīrāzī, Al Ḥikmah al Mutaʿāliyah fī al Asfār al ʿAqliyah al Arbaʿah, Beirut: Dār iḥyā’ al turāth, 1981. |
11. | _____, Al Maẓāhir Al Ilāhiyyah fī Asrār al ʿUlūm al Kamāliyyah, Tehran: Bonyad Hikmat Sadra Publishers. |
12. | _____, Al Shawāhid al Rubūbiyah fī al Manāhij al Sulūkiyah, Mashhad: al markaz al jami’I li al nashr, 1981. |
13. | _____, Asrār al ’Ayāt, Tehran: Theosophy Philosophy Association, 1981. |
14. | _____, Kasr al Aṣnām al Jāhiliyyah, Tehran: Bonyad Hikmat-e Islami Sadra Publishers, 2002. |
15. | _____, Mafātiḥ al Ghayb, Tehran: Cultural Researches Institution, 1982. |
16. | ______, Tafsīr Al Qur’ān al Karīm, Qum: Intishārāt Bīdār,1344 H. |
[1] M. Khamenei, the Qur’anic Hermeneutics of Mulla Ṣadrā, (Tehran: Ṣadrā Islamic Philosophy Research Institute (SIPRIn) Publication, 2006), hal. 28-29. Lihat juga: M. Khamenei, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, (Tehran: Sadra Islamic Research Institut (SIPRIn), 2004), hal. 23-24
[2] Ibid, hal. 29
[3] Ṣadrā, al Ḥikmah al Mutaʿāliyah fī al Asfār al ʿAqliyah al Arbaʿah, (Beirut: Dār iḥyā’ al turāth, 1981), J. 8, hal. 303.
[4] Lihat: Hossein Nasr, Mulla Ṣadrā : Ajaran- Ajarannya dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Buku Ke-dua), (Bandung: Mizan, 2003), hal. 927
[5] Q.S. al nisā’: 162
[6] Ṣadrā, Mafātīh al Ghayb, (Tehran: Cultural Researches Institution, 1982), hal. 82.
[7] Mohammed Rustom, Qur’anic Exegesis in Later Islamic Philosophy: Mulla Ṣadrā ’s Tafsīr Surah al Fātihah, (University of Toronto, 2009), hal. 245.
[8] Lihat: Ibid., hal. 245-246. Lihat juga: M. Khamenei, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, (Tehran: Sadra Islamic Research Institut (SIPRIn), 2004), hal. 25
[9] Mohammed Rustom, the nature and significance of Mulla Ṣadrā ’s Qur’anic Writing, hal. 123. Lihat juga: Rustom, Qur’anic Exegesis in Later Islamic Philosophy, hal. 245
[10] Rustom, Qur’anic Exegesis in Later Islamic Philosophy, hal. 245
[11] Ibid., hal. 125
[12] Ṣadrā,Tafsīr Al Qur’ān al Karīm, (Qum: Intishārāt Bīdār,1344 H), J. 7, hal. 362
[13] Lihat: Ibi.d, hal. 245
[14] M. Khamenei, the Qur’anic Hermeneutics of Mulla Ṣadrā, (Tehran: Ṣadrā Islamic Philosophy Research Institute (SIPRIn) Publication, 2006), hal. 31. Lihat juga: Ṣadrā, Mafātiḥ al Ghayb, (Tehran: Cultural Researches Institution, 1982), hal. 73-76
[15] Ibid., 41
[16] Nur, Ta’wil dalam pandangan Sadra, hal. 307-308
[17] Q.S. al nisā’: 162
[18] Ṣadrā, Mafātīh, hal. 73-76
[19] Lihat: ibid., hal. 76. Lihat juga: Nur, Ta’wil dalam Pandangan Sadra, hal. 297.
[20] Ṣadrā kembali ke kota Shirāz sekitar tahun 1039 atau 1040 H (1632). Beberapa tokoh meyakini bahwa kembalinya Ṣadrā ke kota Shirāz tersebut atas undangan Allah Werdi Khan, Penguasa provinsi Fars untuk mengembangkan perguruan tinggi yang pernah didirikan oleh ayahnya. Lihat: M. Khamenei, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy, (Tehran: Sadra Islamic Research Institut (SIPRIn), 2004), hal. 14-15
[21] Ṣadrā, Tafsīr, J. 7, hal. 401
[22] Tafsīr, J. 7, hal. 374
[23] Tafsīr, J. 7, hal. 374
[24] Tafsīr, J. 7, , hal. 374, 379
[25] Lihat: Tafsīr, J. 7, hal. 379. Lihat juga: Ṣadrā, al Shawāhid al Rubūbiyah fī al Manāhij al Sulūkiyah, (Mashhad: al markaz al jami’I li al nashr, 1981), hal. 355
[26] Tafsīr, J. 7. hal. 379
[27] Lihat: Ṣadrā,Tafsīr, J. 7, hal. 397. Lihat juga: Ṣadrā, Kasr al Aṣnām al Jāhiliyyah, (Tehran: Bonyad Hikmat-e Islami Sadra Publishers, 2002), hal. 235.
[28] Ṣadrā,Tafsīr, J. 7, hal. 397.
[29] Lihat: Ibid., hal. 398
[30] Ṣadrā, Tafsīr, J. 7, hal. 387
[31] Ibid, hal. 388
[32] Ṣadrā, Mafātih al Ghaib, hal. 195
Catatan: Artikel ini telah diterbitkan oleh Kanz Philosophia: A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism, Vol. 4, No. 2, December 2014. (hal. 127-138)